KAUSA.ID, PALU – Karsa Institute bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil (OMS) yang terdiri dari lembaga swadaya masyarakat (NGO), media, dan perguruan tinggi
menggelar workshop bertema “Mendorong Pembangunan Berkelanjutan dalam RPJMD dan KLHS Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2025–2029′, Senin (26/5/2025) di Palu.

Budiansyah, selaku koordinator kegiatan mengungkapkan, workshop yang diinisiasi Karsa Institute ini sebagai upaya mendorong pembangunan berkelanjutan di Sulteng dengan mengidentifikasi isu-isu lingkungan yang menjadi usulan kebijakan yang dapat diintegrasikan ke dalam dokumen RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis).

“RPJMD dan KLHS selayaknya mengintegrasikan agenda pembangunan berkelanjutan. Workshop ini untuk konsolidasi masyarakat sipil, NGO, perguruan tinggi dan media , memetakan sebaran inisiatif, serta isu dan agenda penyelamatan lingkungan yang perlu di integrasi dalam kebijakan pembangunan,” tegas Budiansyah.

Menurutnya, masifnya industri ekstraktif di Sulteng bisa mengancam kelestarian lingkungan dan keberlanjutan ekosistem alam, olehnya perlu memprioritaskan agenda penyelamatan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan dalam agenda dan kebijakan pembangunan daerah.

“Saat ini, penyusunan dokumen RPJMD dan KLHS tersebut tengah berlangsung di DPRD Sulteng, sehingga peran aktif organisasi masyarakat sipil penting dalam memberikan masukan, kritik, dan usulan yang berorientasi pada perlindungan serta pelestarian lingkungan hidup,” tambahnya.

Konsolidasi ini juga diharapkan menghasilkan pemetaan isu dan rekomendasi konkret yang dapat memperkuat arah kebijakan pembangunan daerah yang lebih hijau dan berkelanjutan.

“Golnya ada rencana aksi bersama masyarakat sipil dalam mendorong aksi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan melalui RPJMD” tutupnya.

Dalam sesi diskusi, berbagai persoalan lingkungan di Sulawesi Tengah turut dibahas, termasuk dampaknya terhadap sektor ekonomi daerah. Salah satu narasumber, yang juga Akademisi Untad, Ahlis Djirimu, memaparkan bahwa jika lingkungan dikelola secara baik dan berkelanjutan, maka potensi ekonomi Sulteng sangat besar, terutama dari sektor kelautan dan pesisir.

Salah satunya dengan besarnya potensi garis pantai Sulteng yang mencapai 6.600 kilometer. Sebagai perbandingan, garis pantai Vietnam hanya sekitar 3.200 km, dan Thailand sekitar 3.400 km. Artinya, garis pantai Sulteng dua kali lipat lebih panjang dibanding Vietnam dan Thailand.

Namun dari sisi ekonomi, Vietnam dan Thailand yang mampu mengelola wilayah pesisirnya dengan baik, dan memperoleh pendapatan lebih dari $5 miliar dolar AS setiap tahunnya.

“Sayangnya, Sulawesi Tengah hanya memperoleh kurang dari $2,5 juta dolar dari sektor ekonomi pesisir. Padahal, potensi ini sangat besar jika dikelola dengan baik dan berkelanjutan. Ini menunjukkan bahwa menjaga lingkungan pesisir dapat menjadi sumber penghasilan ekonomi yang signifikan,” ujarnya.

Ahlis juga menyoroti penurunan drastis jumlah nelayan di pesisir, salah satunya pesisir Watusampu, Palu. Dari semula ada 325 kepala keluarga (KK) nelayan yang tinggal di Ulujadi, Watusampu. Kini, jumlahnya tinggal 6 KK saja.

“Ketika saya berdiskusi dengan rekan-rekan antropolog, mereka menyampaikan bahwa struktur sosial akan runtuh ketika uang menjadi tujuan utama. Jika ini terjadi, tatanan sosial tidak akan kembali seperti semula. Fungsi sosial akan hilang—dan itulah yang terjadi di Watusampu,” terangnya.

Meski demikian Ia turut menegaskan bahwa lingkungan adalah isu strategis yang harus ditangani secara kolaboratif, bukan parsial. Sehingga peran dalam menjaga lingkungan tidak bisa dilakukan sendirian. Harus ada sinergi antarpihak, baik dari pusat maupun daerah.

Ia juga menekankan bahwa Musrenbang RPJMD bukan sekadar seremoni. Yang lebih penting adalah proses partisipatifnya. Melibatkan semua pihak bukan hanya sebatas mengisi daftar hadir, mendengarkan sambutan, lalu pulang.

“Bukan hanya hadir, isi absen, lalu pulang. Tidak begitu, harus ada proses partisipasi yang nyata. Harus ada sinkronisasi antara kebijakan pemerintah daerah dan masyarakat. Inilah yang belum terwujud sepenuhnya,” tambahnya.

Isu lingkungan juga perlu dikoneksikan langsung dengan kebijakan daerah/kabupaten kata Ahlis. Jangan berhenti di dokumen RPJMD saja, tetapi harus menjadi Rencana Strategis (Renstra) daerah dan perlu pengawasan dalam implementasinya

“Dan terakhir, saya ingin berpesan, janganlah alergi terhadap kritik. Kami akademisi memberikan kritik itu juga sudah lengkap dengan solusinya,” tandasnya. (kn/kn)