KAUSA.ID, PALU – Karsa Institute menggelar dialog terbuka bersama organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan perwakilan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah untuk mengkaji sejauh mana visi lingkungan hidup terintegrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sulteng 2025–2029.

Dialog yang bertajuk “Membedah Visi Lingkungan Hidup dan Pembangunan dalam Kebijakan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah” ini berlangsung di kantor Karsa Institute, Kota Palu, Kamis (3/7/2025). Kegiatan ini menjadi ajang diskusi kritis terhadap implementasi sembilan program prioritas Gubernur Sulteng yang berlandaskan pada empat pilar pembangunan yakni, Pro Poor, Pro Job, Pro Growth, dan Pro Environment.

Dalam Diskusi, Direktur Karsa Institute, Rahmat Saleh menekankan pentingnya keterlibatan publik dalam mengawal arah pembangunan daerah, terutama dalam isu pelestarian lingkungan hidup yang dinilai belum mendapat tempat utama dalam dokumen perencanaan awal RPJMD.

“Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah yang mencapai 10–11 persen memang patut diapresiasi. Namun, kita tidak boleh menutup mata bahwa manfaat pertumbuhan itu belum merata. Angka pengangguran masih 2,94 persen pada 2024, dan konsentrasinya tinggi di Kota Palu dan Kabupaten Morowali,” ungkap Rahmat.

Ia menilai bahwa eksploitasi sumber daya alam telah mendorong pertumbuhan ekonomi secara masif, namun meninggalkan jejak degradasi lingkungan yang signifikan. Menurutnya, tanpa pendekatan pembangunan berkelanjutan, ketimpangan sosial dan kerusakan alam akan terus melebar.

“Pembangunan daerah tidak boleh mengorbankan keberlangsungan lingkungan. Triple bottom line—ekonomi, sosial, dan lingkungan—harus menjadi pijakan utama dalam perumusan kebijakan,” tegasnya.

Rahmat juga mengingatkan bahwa momen penyusunan Ranwal RPJMD adalah saat yang tepat untuk menyuarakan perubahan. Ia berharap dokumen ini bisa menjamin pemerataan hasil pembangunan tanpa mengabaikan kelestarian sumber daya alam.

“Kita punya peluang untuk memperbaiki arah pembangunan. Jangan sampai pertumbuhan ini hanya dinikmati oleh segelintir orang. Harus ada keadilan lingkungan dan sosial,” ujarnya.

Sementra itu, Direktur Ekonesia, Azmi Sirajuddin, sebagai moderator dialog turut mengkritisi lemahnya perhatian pemerintah daerah terhadap potensi energi terbarukan dalam program pembangunan energi daerah.

“Sulawesi Tengah kehilangan sekitar 35% hutan alamnya akibat ekspansi perkebunan dan pertambangan. Ironisnya, kebijakan energi kita masih dominan berbasis fosil, padahal kita memiliki potensi energi surya yang sangat besar,” papar Azmi.

Ia menilai bahwa program BERANI MENYALA belum secara tegas mengarahkan pembangunan energi ke sumber yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Menanggapi berbagai masukan, Kepala Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Bappeda Provinsi Sulteng, Subhan Basir, menjelaskan bahwa Pemerintah Provinsi telah mengakomodasi visi lingkungan dalam RPJMD 2025–2029. Ia menyebut misi ketiga dari RPJMD mencakup pembangunan infrastruktur berbasis lingkungan dan tata ruang yang berkelanjutan.

“Program BERANI MAKMUR mencakup satu program khusus untuk isu lingkungan. Targetnya jelas, penurunan angka kemiskinan hingga 6,20–7,20 persen pada 2029, peningkatan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup dari 81,75 ke 82,60, serta penurunan emisi gas rumah kaca,” terang Subhan.

Ia menambahkan bahwa program-program prioritas seperti BERANI LANCAR, BERANI MENYALA, dan BERANI MAKMUR merupakan kerangka besar pembangunan yang akan diturunkan dalam kegiatan teknis tiap perangkat daerah. (kn)