AMBON, KAUSA.ID – Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan Bupati Maluku Tenggara (TH) terhadap seorang wanita berusia 21 tahun bernama TSA, di Kota Ambon, Maluku, telah mencapai titik balik yang mengejutkan. Setelah TSA melaporkan kasus ini kepada polisi dan mencoba bunuh diri, kini terungkap bahwa terlapor TH akhirnya menikahi korban dengan mahar fantastis sebesar Rp1 miliar.

Kasus ini bermula pada Februari 2023, ketika TSA bekerja di Kafe Aghnia di kawasan Air Salobar Kota Ambon, yang juga merupakan rumah dari Bupati Maluku Tenggara, TH. Modus operandi yang digunakan TH adalah meminta korban mengantarkan minuman teh ke kamarnya di lantai 3, yang kemudian berujung pada pelecehan seksual dan pemerkosaan TSA pada bulan Juni 2023.

TSA memiliki keberanian untuk melaporkan kasus ini setelah merekam percakapan dengan TH. Namun, dalam perkembangan yang mengejutkan, beberapa hari setelah melaporkan kasus tersebut, TSA mencoba bunuh diri dengan meminum obat. Keluarganya bahkan mencoba menarik laporan polisi.

Pada 6 September 2023, pelapor mencabut laporannya, namun pihak Polda Maluku tetap melanjutkan proses hukum dan memeriksa kondisi kejiwaan TSA.

Dalam kegiatan jumpa pers bersama sejumlah awak media, Selasa (12/9/2023), pendamping pelapor Othe Patty mengatakan bahwa korban telah dinikahi secara siri oleh TH dengan mahar mencapai Rp1 Miliar.

“Maharnya itu diantar langsung oleh kontraktornya bupati ke Jakarta,” cetusnya.

lanjut Othe, pernikahan siri itu berlangsung di Kota Tual dan yang menjadi wali mempelai perempuan merupakan om kandung korban.

“Pelapor sendiri tidak berada di lokasi saat pernikahan berlangsung, namun telah berada di Jakarta.” tambahnya.

Kasus ini juga menyita perhatian Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Menteri PPPA, Bintang Puspayoga melalui keterangan resminya mengecam kasus ini, Ia mengatakan kekerasan seksual adalah murni tindakan pidana dan tidak berlaku restorative justice.

“Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak mengenal istilah restorative justice sehingga dalam kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh pelaku sebagai pejabat publik di Maluku Tenggara, adalah murni tindakan pidana,” tegas Bintang dikutip dari laman resmi KemenPPPA, Kamis (14/9/2023).

“UU TPKS tidak memungkinkan adanya upaya proses damai yang ditawarkan oleh pelaku. Kami mendukung penuh atas kebijakan Polda Maluku yang tetap melanjutkan penyidikan terhadap pelaku,” ujarnya.

Kementerian PPPA juga mengajak semua perempuan yang mengalami kasus kekerasan dan pelecehan untuk berani bicara dan melaporkan kasus mereka. Dukungan untuk proses hukum tetap kuat meskipun laporan awal telah dicabut.

“Kami melalui tim layanan SAPA sebelumnya langsung berkoordinasi dengan dinas pengampu yang berada di daerah, yaitu Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinas PPPA) Provinsi Maluku dan UPTD PPA Provinsi Maluku untuk mendampingi korban mulai dari pendampingan psikologi korban hingga nanti mengawal proses hukumnya. Mereka juga akan terus berkoordinasi dengan Polda Maluku untuk mengikuti perkembangan kasus,” tutupnya. (Al/Kn)