Amnesti Internasional Kecam Polisi dan ASN Intimidasi Siswa Demo Tolak MBG Papua
KAUSA.ID, JAKARTA – Amnesty Internationl Indonesia mengecam tindakan berlebihan polisi dan aparatur sipil negara (ASN) terhadap aksi protes pelajar sekolah yang menolak program makan bergizi gratis (MBG) di sejumlah kota di Tanah Papua.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai, tindakan mencegat apalagi menangkap siswa yang hendak melakukan aksi damai menolak program MBG tanpa alasan hukum yang dibenarkan adalah bentuk pelanggaran HAM yang sangat nyata yang dipertontonkan oleh kepolisian di Tanah Papua.
“Penggunaan tembakan peringatan serta gas air mata dalam merespons aksi pelajar yang sedang berdemonstrasi jelas berlebihan,” ungkapnya.
Tembakan peringatan dan menembakkan gas air mata secara serampangan menurutnya merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM oleh aparat. Polisi harus memastikan bahwa penggunaan kekuatan yang berlebihan bukanlah solusi dalam merespon aksi protes di Papua, apalagi jika mereka harus berhadapan dengan aksi yang dilakukan oleh pelajar sekolah seperti dalam aksi menolak program MBG tersebut.
Tidak cukup dengan itu, Usman menyebutkan, belum lama seorang ASN juga terlihat malah ikut melakukan pelanggaran HAM dengan melakukan aksi kekerasan fisik dengan menendang seorang siswa sekolah.
“Ironisnya aksi kekerasan terhadap anak tersebut terjadi di depan mata aparat keamanan yang seharusnya melindungi siswa Papua dari segala bentuk ancaman,”
“Sikap anti-kritik yang dinormalkan lewat tindakan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat dan juga ASN Papua yang melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap seorang siswa Papua harus segera dihentikan,” sambungnya.
Ia menyarankan Polisi segera melakukan investigasi mendalam terhadap anggotanya yang menggunakan kekuatan berlebih dalam merespon aksi protes siswa di Nabire, Yalimo, Jayapura dan Wamena.
Kepolisian juga harus memproses hukum ASN yang tertangkap kamera menginjak seorang siswa karena jelas tindakan tersebut melanggar UU Perlindungan Anak Tahun 2014.
Seperti orang dewasa, anak-anak pun memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dan melakukan protes damai sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan Konvensi Hak-Hak Anak.
“Negara juga harus menjamin keamanan dan perlindungan bagi anak-anak yang menyuarakan pendapatnya secara damai, sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak,” tandasnya.
Sebelumnya, terdapat sejumlah insiden yang dilakukan oleh aparat terhadap para pelajar saat mengikuti unjuk rasa menolak program MBG yang berlangsung secara serempak di beberapa wilayah di Tanah Papua pada Senin (17/02/2025).
Dalam insiden di Nabire, Papua Tengah, aparat kepolisian mengadang puluhan pelajar yang hendak bergerak menuju lokasi demonstrasi dan membawa mereka dengan truk ke kantor polisi. Beredar pula video viral yang memperlihatkan seorang ASN berseragam coklat menendang tubuh dan menginjak kaki seorang pelajar sambil menghardik dengan ucapan yang merendahkan martabat anak saat para pelajar dikumpulkan di kantor polisi. “Kamu ini masih anak-anak kecil, masih ingusan,” kata ASN itu sambil memegang bagian kepala siswa tersebut.
Terlihat beberapa ASN lain dan polisi, yang berdiri di depan para pelajar yang duduk bersila di lantai, hanya menyaksikan pemandangan itu. Laporan media menyebutkan, ASN yang terlihat menendang dan menghardik pelajar tersebut adalah Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Nabire.
Sementara itu, di Kabupaten Yalimo, Papua Pegunungan, polisi dilaporkan melepaskan 12 kali tembakan peluru dan gas air mata saat menghadapi aksi protes pelajar yang menolak program MBG. Di Kota Jayapura, Papua, sebanyak 15 pelajar SMP dan SMA sempat ditangkap saat hendak mengikuti aksi protes dan dipulangkan setelah diperiksa polisi di Mapolsek Heram. Juga muncul laporan dugaan kekerasan aparat atas pelajar saat menangkap peserta aksi. Di Kota Wamena, Papua Pegunungan, aparat kepolisian menghadapi demonstrasi pelajar dengan menembakkan gas air mata.
Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child – CRC) menjamin hak anak untuk berekspresi, termasuk dalam bentuk demonstrasi damai di jalan.
Pada November lalu, seorang pelajar di Kota Bogor juga dipanggil sekolah dan terpaksa membuat video permintaan maaf karena merekam porsi MBG milik temannya yang baginya tidak layak dan telah viral di media sosial. Lebih parahnya lagi, pelanggaran-pelanggaran ini senada dengan komentar-komentar pejabat pemerintah maupun pendengung yang menghardik suara kritis yang menyoroti masalah yang ada di program MBG. (**)
Tinggalkan Balasan