KAUSA.ID, PALU – Yayasan Inisiatif Akses menuju Sehat (IPAS) Indonesia bersama Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulteng (KPKP-ST) dan Yayasan Merah Putih (YMP) menggelar diskusi publik di salah satu Cafe di Kota Palu, Sabtu (15/3/2025).

Diskusi dengan mengusung tema Mengupayakan Hak Kesehatan dan Layanan Komprehensif untuk korban kekerasan keksual ini dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional.

Turut hadir perwakilan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, komunitas pemerhati perempuan dan anak, aparat keamanan, komunitas sosial, serta media. Beberapa narasumber yang hadir meliputi perwakilan Komisi IV DPRD Sulawesi Tengah, Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah, Gerakan Perempuan Bersatu (GPB) Sulawesi Tengah, serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sulawesi Tengah.

Salah satu point utama dalam diskusi tersebut membahas terkait meningkatnya angka kekerasan seksual di Sulawesi Tengah.

Perwakilan GPB Sulawesi Tengah, Dewi Rana, mengungkapkan bahwa jumlah kasus kekerasan seksual terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data yang tercatat, pada 2021 terdapat 48 kasus kekerasan, dengan 9 di antaranya merupakan kekerasan seksual. Pada 2023, angka tersebut meningkat menjadi 79 kasus, termasuk program 15 kasus kekerasan seksual. Sementara hingga awal 2024, sudah tercatat 55 kasus, dengan 9 di antaranya merupakan kekerasan seksual.

“Peningkatan ini sangat mengkhawatirkan, terutama karena banyak kasus femisida yang tidak dikenakan pasal sesuai sistem hukum yang berlaku,” ujar Dewi.

Dewi juga menyoroti implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang masih menghadapi berbagai kendala. Meskipun UU ini progresif dalam memberikan perlindungan dan pemulihan bagi korban, penerapannya di lapangan belum optimal. Salah satu hambatan utama adalah kurangnya pemahaman hukum di kalangan aparat penegak hukum.

“Banyak petugas yang belum memahami atau menerapkan UU ini secara maksimal, sehingga menghambat proses keadilan bagi korban,” jelasnya.

Selain itu, kekerasan seksual berbasis digital, seperti penyebaran video tanpa izin, juga menjadi tantangan tersendiri karena sulitnya pengumpulan bukti. Dalam beberapa kasus, kesaksian korban penyandang disabilitas tidak diterima secara sah oleh aparat hukum, meskipun UU TPKS telah mengatur hak mereka untuk bersuara.

Dewi juga menyoroti minimnya pendanaan bagi lembaga layanan yang menangani korban kekerasan seksual.

“Kurangnya pendanaan berdampak pada minimnya fasilitas dan dukungan bagi korban. Ini memperpanjang trauma mereka dan menghambat akses keadilan,” tambahnya.

Dalam diskusi tersebut, para peserta sepakat bahwa perlu ada peningkatan kapasitas bagi aparat penegak hukum serta keberlanjutan pendanaan bagi organisasi yang membantu korban. Mekanisme pelaporan juga harus lebih mudah diakses, terutama di daerah terpencil. (**)