DLH Sulteng dan Kemitraan Perkuat Strategi Iklim Berbasis Komunitas bagi 20 Desa Sulteng
KAUSA.ID, PALU – Pemerintah provinsi Sulawesi Tengah bekerja sama dengan Kemitraan Sulteng memperkuat tata kelola lingkungan untuk pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui sosialisasi ‘Perubahan Iklim, Mitigasi dan Adaptasi serta Peningkatan Kapasitas Masyarakat’ yang digelar selama dua hari, 16-17 Mei 2025 di salah satu hotel di Palu.
Kegiatan ini merupakan langkah strategis dari implementasi program Results-Based Payment (RBP) dari Green Climate Fund (GCF), khususnya melalui program penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) berbasis hasil.
Kegiatan ini diikuti oleh peserta dari perwakilan 20 desa dan 13 Dinas Lingkungan Hidup (DLH) kabupaten se-Sulawesi Tengah. Hal ini merupakan langkah awal untuk melibatkan multipihak dalam pengendalian perubahan iklim di tingkat lokal, sesuai komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris yang telah diratifikasi melalui UU No. 16 Tahun 2016.
“Partisipasi antar pihak menjadi poin penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Adaptasi harus dimulai dari tapak karena masyarakat adalah aktor utamanya,” ungkap Abdul Rauf, tim ahli DLH Sulteng menegaskan pentingnya keterlibatan lintas pihak dalam upaya pengendalian iklim, saat memberikan materi kepada peserta kegiatan, Jumat (16/5/2025).
Abdul Rauf juga menjelaskan dua strategi mitigasi, yaitu mengurangi emisi dan menguatkan serapan karbon.
“Potensi kita besar. Pengetahuan lokal, budaya gotong royong, dan kearifan tradisional adalah kekuatan yang bisa diberdayakan, bukan diabaikan,” tambahnya.
Ia menambahkan bahwa strategi mitigasi tidak hanya sebatas mengurangi emisi, tetapi juga memperkuat serapan karbon melalui restorasi dan pelestarian ekosistem lokal. Dalam konteks adaptasi, Abdul Rauf menyebutkan bahwa sektor pertanian harus menjadi perhatian utama.
“Varietas tanaman tahan perubahan cuaca, tahan hujan dan panas seperti padi ladang yang dikembangkan serta sistem tumpangsari dan pola tanam periodik menjadi solusi adaptif yang berbasis kearifan lokal,” jelasnya.
Namun terdapat tantangan dalam menjalankan mitigasi dan adaptasi tersebut, seperti terbatasnya akses masyarakat terhadap pengetahuan, teknologi, dan informasi. Meski demikian, keterbatasan dana tidak boleh menjadi penghalang.
“Dana desa sebenarnya bisa digunakan untuk mendukung ketahanan pangan dan perubahan iklim. Dana Desa jangan hanya digunakan untuk infrasruktur saja, tapi kita perlu membenahi pemahamannya di tingkat tapak,” jelas Abdul Rauf.
Sementara itu, Program Manager Kemitraan Sulteng, Edy Witjaksono, juga memberikan penjelasan mengenai posisi strategis DLH dalam pelaksanaan RBP-GCF, khususnya melalui program Kampung Iklim (Proklim).
“Dari tujuh ruang lingkup RBP, salah satunya melekat di DLH, yaitu Proklim. Sosialisasi ini menjadi langkah awal untuk memperkuat kampung iklim di desa-desa yang rentan terhadap perubahan iklim,” jelasnya.
Edy menyebut, para perwakilan desa yang menjadi peserta merupakan desa-desa yang tergolong rentan terhadap dampak perubahan iklim berdasarkan pemetaan data SIDIK (Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan Iklim).
Dengan begitu, kata Edy sosialisasi ini merupakan langkah untuk memberikan pemahaman awal kepada masyarakat tentang langkah mitigasi dan adaptasi yang bisa dilakukan.
“Dalam konteks mitigasi, masyarakat dibekali pengetahuan untuk mengurangi risiko iklim. Sementara dalam adaptasi, mereka diperkuat kemampuannya untuk menghadapi perubahan iklim. Keduanya menjadi kunci dalam menjaga keberlanjutan desa,” tambahnya.
Melalui sosialisai tersebut, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat dan para pihak tentang dampak perubahan iklim sebagaimana dalam pelaksanaan program RBP dan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi GRK.
“RBP inikan insentif yang diberikan kepada pemerintah provinsi atas pencapaiannya mengurangi emisi karbon dari sektor hutan dan lahan. Dan program kampung iklim ini jadi program utama pemerintah yang ditujukan untuk mengurangi emisi karbon,” pungkasnya. (kn/kn)
Tinggalkan Balasan