KAUSA.ID, PALU – Karsa Institute melalui program Estungkara berhasil mengadvokasi untuk mendapatkan pengakuan masyarakat hukum adat dan wilayah adat bagi Desa Pelempea dan Desa Banasu, Kabupaten Sigi.

Pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat di kedua desa tersebut tertuang dalam surat keputusan Bupati Sigi bernomor 100.3-159 tahun 2025 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan wilayah adat to kulawi uma di Pelempea, Sigi, dan Surat Keputusan Bupati Sigi bernomor 100.3-160 tahun 2025 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan wilayah adat to kulawi uma di Banasu, Sigi.

SK tersebut kemudian diserahkan langsung oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten (PMD) Sigi, Mohammad Ambar Mahmud kepada Kepala Desa Banasu dan Kepala Desa Pelempea Sigi, didampingi tim Karsa Institute sebagai fasilitator, Jumat (9/5/2025).

Manager Program Estungkara, Desmon mengatakan bahwa pengakuan wilayah hutan adat merupakan penghargaan terhadap hak masyarakat adat serta kearifan lokal dan perannya dalam menjaga keberlangsungan ekosistem hutan. 

“Kami berterima kasi kepada pemda sigi atas progres yang cepat dilakukan sehingga melahirkan keputusan ini,” katanya.

Desmon menerangkan bahwa dalam proses penerbitan keputusan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat ini berangkat dari usulan masyarakat adat sendiri terkait batas wilayah dan zonasi di Desa mereka.

Ia juga mengapresiasi dukungan pemerintah yang mempercepat progres penerbitan keputusan itu. Menurutnya, pengakuan wilayah adat ini menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap hak masyarakat adat dalam mengelola hutan serta menjaga kelestarian hutan mereka.

“Pengakuan ini tidak hanya penting untuk masyarakat adat itu sendiri, tetapi juga untuk keberlanjutan lingkungan dan pembangunan daerah secara keseluruhan,” pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Dinas PMD Sigi, Mohammad Ambar Mahmud menerangkan bahwa hal utama dari pengakuan wilayah adat ini adalah untuk menjaga kelestarian lingkungan dan penguatan adat di wilayah desa setempat.

“Pemkab Sigi ini sangat komitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan, dan ini sebagai benteng dari pihak pihak yang akan merusak lingkungan,” ungkapnya.

“Komitmen Pemkab Sigi ini bagaimana kita menjaga lingkungan dari kerusakan, saya tidak ingin seperti daerah lain membiarkan perusak lingkungan masuk, dan jika dibiarkan maka hal ini akan berdampak hingga ke anak cucu kita nanti,” tegasnya.

Ia juga memastikan untuk mengawal visi misi Pemkab Sigi dalam hal menjaga kelestarian lingkungan sebagai Kabupaten lestari.

Ambar juga mendorong desa desa lainnya untuk mendapatkan pengakuan wilayah adat mereka demi pelestarian lingkungan.

“Kami pasti memfasilitasi jika ada desa lainnnya untuk mendapatkan pengakuan masyarakat adat dan hutan adat ini asal persyaratan terpenuhi,” tutupnya.

Sementara itu Kepala Desa Banasu, Edwin mengungkapkan bahwa pihaknya memgusulkan pengakuan hutan adat adalah semata-mata untuk menjaga eksistensi warisan leluhur desa mereka dalam menjaga hutan tetap lestari.

“Utamanya adalah untuk menjaga wilayah adat kami, ini juga menjadi penguat karena kekhawatiran atas ancaman dari pihak yang bisa merusak lingkungan Desa kami,” jelasnya.

Dalam putusan pengakuan terhadap dua desa tersebut, wilayah adat Desa Banasu memiliki luas 5.989,12 Hektar. Sementara Desa Pelempea memiliki wilayah adat seluas 2.588,45 hektar. 

Sebelumnya terdapat lima kawasan hutan adat yang telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah kabupaten Sigi. Wilayah

hutan adat itu yakni Hutan Adat Marena, Hutan Adat Huakaa Topo Ada To Masewo, Hutan Adat Suaka Katuwua Tolindu, Hutan Adat Moa, dan Hutan Adat Ngata Toro. Jumlah luasan kawasan Hutan Adat di Sigi pada tahun 2024 tercatat mencapai 11.289 hektar. (Kn/Kn)