Ketika Para Pemuda di Sigi Komitmen Bangun Perdamaian, Perkuat Toleransi
KAUSA.ID, SIGI – Puluhan pemuda dan pemudi dari 6 desa kaabupaten Sigi mengikuti kegiatan camping ground di kawasan camping Wisata alam reindhard Desa Oloboju, Kabupaten Sigi. Kegiatan ini melibatkan kelompok pemuda juga kelompok perempuan dari 6 desa.
Kegiatan yang digelar selama dua hari, yakni 14-6 November 2025 ini diinisiasi oleh karsa Institute bekerja sama dengan care Indonesia, KOICA, UN Women serta Pemda Sigi.
Menarik dalam kegiatan camping ground tersebut, merupakan kali pertama bertemunya para pemuda dari dua desa yang sebelumnya seringkali terlibat konflik sosial beberapa tahun silam. Bagi sebagian orang, camping ground ini hanya kegiatan biasa, pertemuan para pemuda antar Desa. Tetapi bagi mereka yang datang dari Pesaku dan Rarampadende, dua desa yang beberapa tahun terakhir hidup dengan ketegangan, pertemuan ini seperti membuka pintu yang lama tertutup.
“Kalau sudah mulai tawuran, biasanya kita tidak nyaman tidur,” kata mega dari dusun dua. Ia menceritakan bahwa tempat tinggalnya dekat dari lokasi konflik, sehingga tawuran yang kerap terjadi mengganggu waktu istirahat warga, dan membuat warga tetap berjaga dimalam hari.
Tak hanya mega, pemudi lainnya, Firda yang berasal dari desa Pesaku turut mengungkapkan hal yang sama. Ada rasa ketakutan dan merasa tidak aman ketika harus beraktivitas atau melintasi jalanan desa. Ada rasa canggung ketika berpapasan dengan warga desa tetangga, hingga merasa asing jika berada di desa tetangga yang padahal masih memiliki hubungan kekerabatan.
“Sebenarnya mungkin tidak ada yang kenali kita di Rarampadende, tapi rasa was-was itu pasti ada, apalagi bagi kita perempuan,” ungkap Firda di sela kegiatan.
Direktur Karsa Institute, Syaiful Taslim menjelaskan bahwa pertemuan ini dimaksudkan untuk membawa pesan damai dari para pemuda sigi, menciptakan agen perdamaian, mengkampanyekan pesan cinta damai dan saling menghargai, menjalin silaturahmi serta saling merangkul.
“Tujuannya untuk penguatan toleransi dan konflik sosial antar desa, ini dimulai dengan membangun komunikasi yang terbuka dan saling menghargai” terang Syaiful Taslim, kepada Kausa.id, Sabtu sore (15/11/2025).
Dalam sesi diskusi camping ground dibuka oleh Kepala Badan Kesatuan bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Sigi, Tony Ponulele. Tony memantik diskusi dengan menceritakan bagaimana dampak sosial yang terjadi akibat konflik yang bermula dari hal sepele.
“Kadang konflik itu sebenarnya muncul bukan karena niat jahat tapi karena salah paham asumsi yang belum terselesaikan,” ucapnya lugas.
Menurutnya, konflik kerap membesar akibat hal-hal sepele. Seperti unggahan yang dicrop lalu menyinggung seseorang, ucapan yang viral tanpa konfirmasi, atau candaan yang salah ditafsirkan. Bahkan kegiatan musyawarah seperti Musrenbangdes pun sering memunculkan ketegangan bila generasi muda tidak dilibatkan.
“Hari ini kita semua hadir, berkumpul, tidur di bawah tenda yang sama, di bawah langit yang sama, di tanah yang sama. Kalau tenda saja bisa muat banyak kepala, masa kita punya hati tidak bisa?” ungkap Tony.
“Kalau dalam satu tenda saja bisa kita numpuk-numpuk itu, masa hati kita tidak bisa?” sambungnya.
Mengungkapkan pesan sederhana, bahwa hidup berdampingan adalah soal saling menyesuaikan dan menghargai.
Kata Tony, Kesbangpol memiliki tanggung jawab menjaga stabilitas politik dan sosial melalui deteksi dini, pencegahan potensi konflik, hingga koordinasi lintas sektor yang melibatkan TNI, Polri, BIN, tokoh adat, Forum Kerukunan Umat Beragama, hingga Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat.
Namun Tony mengakui, Kesbangpol juga punya keterbatasan. Pihaknya hanya memiliki 41 personel untuk menangani 176 desa dan 16 kecamatan. Sehingga, kolaborasi dengan masyarakat, terutama pemuda dan pemudi menjadi sangat penting.
“Kalian hari ini adalah mata dan telinga kami di desa,” tegasnya. Melalui aktivitas media sosial, dinamika pemuda, dan jejaring desa, Ia menekankan bahwa pemuda dianggap memiliki daya jangkau informasi lebih cepat ketimbang aparat pemerintah.
Di akhir diskusi ia juga menekankan, untuk mengelola konflik, terdapat tiga hal, yakni deteksi dini, cegah dini, dan resolusi damai. Ia berharap kegiatan hari itu menghasilkan resolusi damai yang disusun sendiri oleh para peserta.
Sebagai ilustrasi, Tony mengajak peserta melakukan simulasi gerak mengikuti irama lagu. Berjoget sesuai ritme musik.
“Kita semua tadi itu mungkin ada yang goyang, ada yang tidak. Tapi tidak ada yang saling tabrak. Intinya kehidupan sosial kita itu begitu. pentingnya menyesuaikan diri dan menghargai langkah orang lain dalam hidup bermasyarakat,” ujarnya.
Sesi diskusi itu menjadi titik awal komunikasi yang mulai terbuka, termasuk dari para pemuda dua desa yang masih berusaha menuju saling percaya.
Beberapa mereka mengaku bahwa mereka sering menutupi identitas asal desa ketika berada di luar kota atau di kampus.
“Kalau ditanya di kampus saya biasa jawab dari Dolo saja, bukan dari Rarampende,” kata Sandi, salah satu pemuda Rarampadende. Ia tak ingin di cap berasal dari daerah konflik.
Sementara pemudi lainnya dari Desa Pesaku melanjutkan bahwa ia menginginkan suasana damai dan aman sehingga masyarakat tidak lagi merasa canggung ketika bertemu di jalan. Ia mencontohkan bahwa akibat konflik, sering terjadi rasa tidak enak saat berada di rumah keluarganya yang berada di desa tetangga, padahal sebenarnya mereka masih memiliki hubungan kekerabatan.
“Karena konflik, kita jadi seperti orang asing,” ujarnya.
Mereka yang berasal dari Pesaku dan rarampadende menyesalkan adanya stigma tentang desa mereka, terutama saat beraktivitas dan berinteraksi di luar desa. Ada rasa tidak nyaman dengan stigma negatif itu, walaupun mereka bersama sama menginginkan kedamaian dan hidup tenang berdampingan.
Mereka yang sadar akhirnya mengambi tindakan cepat jika terjadi kesalahpahaman antara dua desa. Seringkali berawal dari hal-hal kecil dan miskomunikasi, dipicu oleh unggahan Facebook yang disalahartikan. Mereka menyebut bahwa beberapa unggahan pengguna FB Pro sering menyebarkan informasi yang belum akurat, sehingga memperkeruh suasana.
“Biasa muncul di status Facebook, ada informasi yang salah, Jadi kami harus cepat klarifikasi itu di kolom komentar sebelum di goreng,” imbuhnya.
“Kalau muncul isu, sebelum panas, kita yang harus bergerak. Biar tidak meledak lagi,” timpal pemuda lainnya.
Kedua desa berharap melalui kegiatan yang diinisiasi Karsa Institute dapat menjadi awal perubahan. Mereka berharap ada wadah untuk membangun kembali hubungan baik, meningkatkan rasa aman, serta mengurangi potensi provokasi.
Mereka menilai kegiatan seperti camping ground dan pelatihan bersama sangat penting untuk membangun hubungan baik, tidak hanya antara dua desa tersebut, tetapi juga untuk diketahui oleh seluruh Kecamatan di Sigi.Dengan demikian, masyarakat luar tidak lagi memandang kedua desa hanya melalui kacamata konflik.
“Kami saat ini merasa betul-betul berterima kasih karena mempersatukan kami di sini. Kami sangat semangat karena ini merupakan kali pertama kami Rarapadende dan Pesaku disatukan dalam kegiatan ini. Semoga kedepannya harapan saya ada hasil positif dari kegiatan ini yang akan kami bawa ke pulang ke rumah,” pungkas Sandi (kn/kn)



Tinggalkan Balasan