Peringati HIMAS, BRWA Sulteng Desak Percepatan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat
KAUSA.ID, PALU – Memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia pada 9 Agustus 2025, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Sulawesi Tengah menegaskan pentingnya percepatan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Ketua BRWA Sulteng, Joisman Tanduru mengungkapkan, seruan ini sejalan dengan mandat UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3), Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, serta sejumlah kebijakan sektoral yang mengakui hak masyarakat adat sebagai hak turun-temurun, bukan pemberian negara.
“Kami ingin mengingatkan bahwa pengakuan masyarakat adat sudah jelas diatur dalam konstitusi dan putusan pengadilan. Negara hanya perlu menindaklanjutinya dengan regulasi dan tindakan nyata,” ujar Joisman Tanduru, Sabtu (9/8/2025).
Berdasarkan data milik BRWA, hingga kini, dari 13 kabupaten/kota di Sulawesi Tengah, baru empat kabupaten yang memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, yakni Kabupaten Morowali, Sigi, Tojo Una-Una, dan Banggai Kepulauan.
Meski begitu, kata Joisman BRWA bersama Koalisi CSO KARAMHA saat ini tengah mendorong lahirnya Perda di tingkat provinsi sebagai panduan bagi daerah lain.
“Kosongnya regulasi di sebagian besar kabupaten membuat konflik tenurial dan penyingkiran hak adat semakin tinggi. Padahal, regulasi ini bisa menjadi benteng hukum yang melindungi mereka,” jelasnya.
Tak hanya itu, BRWA juga menyoroti ancaman kebijakan seperti PP Nomor 64/2021 tentang Bank Tanah dan Perpres Nomor 5/2025 terkait pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Menurutnya, Satgas PKH kerap menyasar wilayah atau hutan adat, alih-alih menindak pelaku besar perusakan hutan.
“Alih-alih melindungi, kebijakan ini justru mengancam keberadaan masyarakat adat yang sudah turun-temurun menjaga hutannya. Satgas juga menyasar wilayah hutan adat yang hidup di dalam kawasan hutan,” tegas Joisman.
Selain itu, melalui pendokumentasian wilayah adat dan kearifan lokal, BRWA Sulteng telah mencatat 94 wilayah adat di 12 kabupaten dan 1 kota, dengan luas total mencapai sekitar 1 juta hektare. Proses ini dilakukan melalui pengumpulan data, bukti otentik, serta verifikasi langsung di komunitas adat.
BRWA juga aktif melakukan advokasi kebijakan bersama pemerintah daerah untuk mendorong penetapan hutan adat. Namun, langkah ini kerap menghadapi tantangan di lapangan, mulai dari penolakan hingga kriminalisasi masyarakat adat.
Sejumlah wilayah di Sulteng masih dilanda konflik antara masyarakat adat dan pihak luar. Misalnya, di sekitar Taman Nasional Lore Lindu, masyarakat yang sudah tinggal jauh sebelum kawasan itu ditetapkan negara kerap berselisih dengan aparat kehutanan.
Konflik serupa juga terjadi di wilayah adat Nggolo (Palu–Donggala), Morowali Utara (Tau Taa Wana Burangas), dan Poso (Wanua Watutau) yang berhadapan dengan korporasi, izin usaha, maupun proyek strategis.
BRWA berharap, momen peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia ini menjadi titik balik percepatan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Sulawesi Tengah.
“Dengan kolaborasi, pendokumentasian yang kuat, dan kemauan politik, kita bisa memastikan hak-hak masyarakat adat diakui dan dilindungi. Mereka berhak atas kemerdekaan dan keadilan sosial sebagaimana dijamin konstitusi,” pungkasnya. (kn)
Tinggalkan Balasan