KAUSA.ID, PALU – Nelayan di Kelurahan Taipa dan Mamboro Barat, Kecamatan Palu Utara, meminta keadilan atas aktivitas tambang galian C milik PT Arasmamulya dan PT Muzo yang dinilai merugikan masyarakat pesisir. 

Keresahan nelayan terutama dipicu oleh reklamasi dan pembangunan jetty yang berdampak pada hilangnya tambatan perahu serta akses jalan menuju ke laut.

Ketua Himpunan Nelayan Sulawesi Tengah (Sulteng), Djaya Rahman, menyampaikan bahwa aktivitas pertambangan pasir, batu, dan kerikil di wilayah Sungai Palayua serta pesisir Taipa menyebabkan abrasi, kerusakan ekologi, hingga gangguan terhadap kehidupan nelayan.

“Tambatan perahu di pesisir Taipa dihilangkan perusahaan dengan alasan reklamasi. Bahkan akses jalan ke pantai ditutup, sehingga nelayan kesulitan melaut,” ujar Djaya dalam pernyataan resminya, di Palu, Jumat (5/9/2025).

Selain itu, Djaya menduga pembangunan jetty dan kegiatan reklamasi yang dilakukan perusahaan belum mengantongi izin pemanfaatan ruang laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 

Ia juga menyebut aktivitas tersebut berpotensi melanggar beberapa aturan, antara lain, Undang-Undang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang Penataan Ruang, Undang-Undang Pokok Agraria, serta Peraturan Daerah Kota Palu tentang Kawasan Pesisir Teluk Palu.

Djaya juga mengungkapkan bahwa pada 25 Juni 2025 sempat dilakukan mediasi di Kantor Kelurahan Taipa. Dalam pertemuan tersebut, pihak perusahaan menjanjikan kompensasi sebesar Rp2 juta untuk relokasi tambatan perahu dan pembangunan rumah perahu (sompoa). Namun hingga kini, kesepakatan tersebut belum direalisasikan.

“Bahkan perjanjian kompensasi disusun dalam bahasa asing yang tidak dimengerti oleh para nelayan,” tambahnya.

Atas kondisi tersebut, para nelayan mendesak DPRD Kota Palu untuk segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) guna mengevaluasi perizinan dan legalitas operasional perusahaan tambang di kawasan pesisir Taipa.