PALU, KAUSA.ID – Anggota DPD RI Muhammad J Wartabone bersama 17 senator yang tergabung dalam Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI melakukan kunjungan kerja ke Provinsi Banten pada 13-15 September 2023.

Kunjungan tim yang dipimpin Wakil Ketua I BAP DPD RI, Evi Apita Maya tersebut dalam rangka tindak lanjut ikhtisar hasil pemeriksaan semester II Tahun 2022 BPK RI yang berindikasi adanya kerugian negara atau daerah di Provinsi Banten.

Dalam kunjungan itu, pihak BAP DPD berkoordinasi langsung dengan Kepala Kejaksaan Tinggi Banten, Didik Farkhan Alisyahdi dalam rapat konsultasi.

“Kami memiliki beberapa catatan dari pertemuan rapat kerja tersebut, dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan guna mewujudkan akuntabilitas publik pemerintahan daerah,” kata Muhammad J Wartabone kepada media ini, Senin (2/10/2023).

Wartabone mengungkapkan bahwa kegiatan tindak lanjut oleh tim BAP DPD merujuk pada UUD 1945 yang mengatur bahwa BPK menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan negara kepada lembaga perwakilan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan undang-undang.

“Meski UU MD3 memformulasikan tugas ‘menindaklanjuti’ yang diamanatkan Konstitusi dengan istilah ‘pembahasan’, namun tidak berarti bahwa DPD RI membatasi diri hanya melakukan penelahaan dan kegiatan lain yang bersifat konseptual,” ungkapnya.

Maksud fungsi ‘menindaklanjuti’ kata Wartabone mencakup pengertian yang lebih luas yaitu terkait pelaksanaan tugas dan wewenang lembaga perwakilan untuk melaksanakan fungsi-fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran. Artinya, tindak lanjut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK mencakup rangkaian kegiatan yang dapat memberi masukan dalam rangka perubahan UU (legislasi), penyusunan RUU APBN (anggaran) dan koreksi melalui bentuk pengawasan jika ada penyimpangan.

Tugas yang diamanatkan oleh Peraturan Tata Tertib DPD RI, bahwa DPD RI menugaskan BAP untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK RI terhadap entitas di daerah yang mengandung kerugian daerah.

BAP DPD RI menindaklanjuti rekomendasi BPK dari aspek ‘ketidakpatuhan’ terhadap peraturan perundang-undangan’ khususnya yang berindikasi merugikan keuangan negara, baik yang riil maupun potensial, termasuk kerugian yang bersumber dari penerimaan negara.

Menurut Muhammad J Wartabone, kerugian negara yang dijumpai dari hasil pemeriksaan merupakan persoalan tersendiri ketika tidak dilakukan penyelesaian dengan segera.

“Persoalan tersebut perlu diselesaikan tidak hanya mendorong pengembalian kerugian negara namun yang terpenting mengidentifikasi penyebab terjadinya kerugian dan berupaya agar dapat dilakukan pencegahan sehingga kejadian tersebut tidak berulang,” pungkasnya.

Ia berharap agar Kejaksaan Tinggi dapat mempertimbangkan sesuai peraturan perundang-undangan tentang sejumlah alasan mengapa rekomendasi atas temuan pemeriksaan tidak dapat ditindaklanjuti meskipun telah dilakukan pembicaraan atau pembahasan sebelum laporan hasil pemeriksaan diterbitkan. (*/Kn)