PALU, KAUSA.ID – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palu merilis catatan akhir tahun 2023 yang mengungkap sejumlah insiden yang dialami oleh wartawan di Sulawesi Tengah (Sulteng) sepanjang tahun 2023.

Kekerasan terhadap jurnalis yang bisa dimaknai sebagai serangan terhadap kebebasan pers dilakukan oleh para pelaku dari berbagai latar belakang. Mulai dari aparat kepolisian, aparat pemerintah hingga warga masyakarat yang dibekingi oleh elit lokal di belakangnya.

Koordinator Divisi Advokasi AJI Palu, Agung Sumandjaya mengungkapkan bahwa, peristiwa serangan fisik kepada jurnalis yang dicatat AJI Palu antara lain, ancaman terhadap wartawati Harian Sulteng, pada tanggal 6 Januari 2023.

Wartawati Harian Sulteng, Jumriani, diancam akan dipolisikan oleh Paur Humas Polres Palu. Ancaman ini muncul setelah pemberitaan mengenai penggerebekan homestay yang diduga milik oknum polisi. Kasus ini akhirnya berakhir dengan permohonan maaf.

Pada 12 Juli 2023, terjadi pengusiran wartawan dari Kegiatan Pemerintah Kabupaten Donggala yang dialami oleh wartawan dari media likein.id, atas nama Sadam. Ia diusir oleh Humas Pemkab Donggala saat meliput kegiatan Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak.

Pembegalan payudara terhadap Wartawati Kompas TV yang terjadi pada 14 Juni 2023. Korbannya Nana Rahman, jurnalis Kompas TV. Ia menjadi korban tanpa motif yang jelas. Meskipun telah dilaporkan secara resmi, polisi belum berhasil mengungkap pelaku dan motif di balik insiden tersebut.

Pengusiran Wartawan dari Kantor Polres Banggai juga terjadi pada Selasa 2 Mei 2023. Wartawan termasuk Amlin Usman dari Channelsulawesi.id, mendatangi Kantor Polres Banggai untuk klarifikasi terkait kasus dugaan penipuan yang sedang ditangani. Namun, wartawan mengalami pengusiran oleh Kasat Reskrim dengan alasan tertentu.

Selanjutnya kata Agung, pada 20 Oktober 2023, terjadi persekusi terhadap jurnalis di Kabupaten Banggai, atas nama Helmiliana alias Emi. Ia ikejar oleh orang tak dikenal saat sedang melakukan peliputan reklamasi pantai di Desa Bubung, Luwuk. Emi mengalami ancaman selama pengejaran tersebut.

Pengusiran wartawan juga terjadi saat liputan penyerahan Hak Asuh pada 15 November 2023. Sejumlah wartawan yang diundang dalam liputan penyerahan hak asuh sejumlah anak terlantar diusir oleh staf Dinsos Sulteng dari ruangan kegiatan. Pengusiran ini dijelaskan sebagai upaya untuk menghargai privasi anak-anak yang diadopsi. Kedatangan para jurnalis adalah melantik proses seremoni bukan untuk mewawancarai anak adopsi.

Pada tanggal 1 Juni 2023, wartawan di Donggala, Jabir alias Anto, mendapat ancaman dari sejumlah massa aksi demo yang pro terhadap Bupati Donggala, Kasman Lassa. Meskipun kasus ini dilaporkan ke polisi, belum ada tindak lanjut yang jelas.

Agung mengatakan, catatan akhir tahun ini memberikan gambaran tentang tantangan dan risiko yang dihadapi oleh wartawan dalam menjalankan tugas mereka di Sulteng.

“Peran jurnalis menjalankan tugasnya sebagaimana yang diamanatkan UU No 40 tahun 1999, belum sepenuhnya berjalan optimal. Lemahnya penegakkan hukum terhadap kekerasan yang dialami jurnalis,” terang Agung.

Agung juga membuktikan bahwa proses hukum terhadap kekerasan yang dialami jurnalis belum menjadi agenda yang penting untuk diperhatikan. Hal ini terlihat dari sejumlah kasus yang dialami oleh jurnalis laporannya selalu berhenti di meja registrasi.

Sementara itu, Ketua AJI Palu, Yardin Hasan mengatakan bahwa, rentetan kekerasan terhadap jurnalis adalah bukti bahwa perjuangan mewujudkan pers yang merdeka dan bebas dari ancaman masih membutuhkan perjuangan panjang.

Padahal, jurnalis sebagai mata dan telinga public harus dapat bekerja dengan aman dan bebas dari ancaman. Terkait soal ini, ia meminta agar jurnalis yang mengalami kekerasan karena menjalankan tugasnya tidak mudah dilobi untuk damai.

“Kekerasan terhadap jurnalis bukan semata kekerasan yang dialami oleh individu yang bersangkutan, melainkan serangan terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.

Yardin juga menyoroti fenomena mudahnya jurnalis menerima tawaran damai dari pelaku kekerasan, semakin menyulitkan aksi-aksi advokasi. Pasalnya, tawaran damai – tidak bisa mengurai penyebab kekerasan yang terjadi dan membuat kasus makin massif karena tidak ada efek jera yang didapat para pelaku kekerasan.

“Adil dulu baru damai,” pungkas Yardin. (*/Kn)